JAKARTA – Saya tidak akan membahas metodelogi, karna survei ini sangat valid”, ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej sesaat setelah mendengar paparan hasil Survei Nasional Penyalahgunaan Narkotika di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Rabu (8/12).
Dilantik bersamaan dengan Kepala BNN RI, Dr. Petrus Reinhard Golose, pada 23 Desember 2020 silam, Eddy Hiariej, sapaan akrabnya, sangat mengapresiasi atas tindakan BNN RI yang dengan konsisten melakukan pembaharuan data secara berkala setiap 2 tahun. Eddy Hiariej menilai survei ini sangat valid karena dilakukan oleh 3 institusi yang kompeten, yakni Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Pusat Statistik (BPS).
Eddy Hiariej mengatakan ada banyak faktor mengapa Indonesia menjadi lahan subur bagi pelaku tindak kejahatan narkotika, salah satunya adalah letak geografis. Indonesia menjadi Negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Eddy Hiariej menambahkan budaya hedonis juga menjadi salah satu faktor pendukung banyaknya tindak penyalahgunaan Narkoba di Indonesia. Ia mengkategorikan narkotika sebagai kejahatan yang unik, karena merupakan kejahatan yang tidak memiliki korban sebagai objeknya.
“Pelaku kejahatan narkoba adalah korban atas perbuatannya sendiri, maka itu yang tepat bukanlah dihukum tetapi di rehabilitasi,” imbuhnya.
Hal lain yang menjadikan narkotika sebagai kejahatan yang unik menurut Eddy Hiariej, klasifikasinya sebagai _extra ordinary crime_, atau kejahatan luar biasa. Sementara, undang-undang narkotika dibentuk dengan tujuan menjamin ketersediaan narkotika sebagai bahan penelitian dan pengembangan Ilmu dan Teknologi.
“Untuk itu, dibutuhkan lembaga yang khusus menangani kejahatan Narkotika,” katanya.