JAKARTA – Pasca melakukan perdamaian, akhirnya Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ), yang diajukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Kaimana. JAM-Pidum juga mengapresiasi, Kepala Kejaksaan Negeri Kaimana terkait RJ tersebut.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kaimana, Wahyudi Eko Husodo SH MH penghentian penuntutan berdasarkan keadilan Restoratif, setelah dilakukan ekspose secara virtual di aula Kantor Kejaksaan Negeri Kaimana berlangsung pada Kamis, 9 Juni 2022. Dalam Ekspose tersebut langsung dihadiri oleh JAM-Pidum Dr. Fadil Zumhana, Direktur Oharda Agnes Triana dan Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Barat Juniman Hutagaol,
“Setelah kami proses perkaranya, akhirinya Kejari Kaimana sepakat untuk mengajukan permohonan restorative justice, agar berkas perkaranya dihentikan penuntutannya. Hal tersebut berdasarkan keadilan restoratif justice atas nama tesangka Kisman Kasim Damau bin Kasim Damau yang disangka melanggar pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang penganiayaan,” ujar Wahyudi kepada Amri Siregar via Whatsapp di Jakarta pada Senin (13/6/2022).
Lebih lanjut Wahyudi mengungkapkan kronologi tindak pidana penganiayaan yang dilakukan Kisman Kasim Dama pada Senin, 28 Maret 2022 sekitar pukul 16.30 WIT, di PT. Industri Perikanan Namatota Kabupatan Kaimana. Awalnya tersangka Kisman Kasim Damau selaku pelaut (pencari ikan) dan korban Muhammad Akbar selaku bagian penimbangan di perusahaan PT. Industri Perikanan Namatota memperdebatkan tentang jenis ikan yang sedang ditimbang.
“Lantas tersangka yang emosi kemudian melakukan pemukulan sebanyak satu kali dengan tangan kanan ke bagian wajah korban. Menyebabkan luka lebam di wajah, akibat bendap tumpul dan luka berbentuk lingkaran dengan diameter 6 cm berdasarkan surat Visum et Repertum dari RSUD Kaimana Nomor:X-300/739/RSUD-KMN/2022 pada 28 Maret 2022 atas nama Muhammad Akbar,” ungkapnya.
Sedangkan alasan pemberian RJ imbuh Wahyudi selah mereka melakukan proses perdamaian. Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf.
“Tersangka juga belum pernah dihukum, dia baru pertama kali melakukan perbuatan pidana dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun. Tersangka juga berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya,” imbuhnya.
Sedangkan proses perdamaian, kata Wahyudi mereka lakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. Tersangka dan korban juga setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.
Pertimbangan sosiologis, Masyarakat merespon positif.
Dalam kesempatan itu JAM-Pidum mengucapkan terimakasih dan juga mengapresiasi Kejaksaan Tinggi Papua Barat berserta jajaran, dan Kepala Kejaksaan Negeri Kaimana, serta Jaksa Fungsional yang telah aktif menjadi fasilitator.
“Dengan terwujudnya proses Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) ini, merupakan salah satu upaya Kejaksaan mendekatkan diri dengan masyarakat sesuai dengan arahan Bapak Jaksa Agung, ‘Jaga marwah Kejaksaan RI dan tidak boleh ada transaksional dalam setiap penanganan perkara,“ ujar JAM-Pidum.
Selanjutnya JAM-Pidum memerintahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kaimana untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (Amris)